Pages

Minggu, 18 Desember 2011

Khasiat Kayu Manis untuk Diabetes

'Cinnamon Variaties' photo (c) 2009, Robin - license: http://creativecommons.org/licenses/by-sa/2.0/Pengobatan diabetes dapat menggunakan kayu manis. Kayu manis adalah jenis rempah-rempah utama yang banyak digunakan sebagai bahan pemberi aroma dan citarasa dalam makanan dan minuman, bahan aditif pada pembuatan parfum, obat-obatan serta dapat diolah menjadi anti mikroba. Menurut penelitian beberapa ahli, kayu berkulit kasar itu ternyata tersusun dari sinamaldehid, turunan dari senyawa fenol. Di dunia kedokteran, sinamaldehid diketahui memiliki sifat anti-agregasi platelet dan sebagai vasodilasator secara in vitro. Platelet adalah kolesterol yang menempel pada pembuluh darah. Agregasi (pengumpulan) platelet menyebabkan terjadinya aterosklerosis atau lemak mengeras di pembuluh arteri.
Karena kandungan tersebut, banyak manfaat dari mengkonsumsi kayu manis, misalnya untuk menurunkan risiko aterosklerosis dan stroke. Selain itu, rempah-rempah bernama latin Cinnamomum burmannii ini ternyata juga sudah sejak lama dipercaya dapat mengobati kencing manis (diabetes mellitus).
“Rempah-rempah dengan aroma manis ini bekerja terhadap pankreas,” kata pakar naturopati DR dr Amarullah Siregar. Pankreas adalah organ tubuh yang memproduksi insulin. Hormon insulin berperan sebagai semacam kunci  untuk memasukkan gula darah ke dalam sel-sel tubuh.  ”Dengan insulin, gula yang terdapat dalam darah diolah menjadi energi sehingga tidak mengendap dalam sel-sel darah,” kata Amarullah.
Pada penderita kencing manis, tubuh mengalami gangguan sehingga tidak bisa memproduksi insulin secara memadai  atau sensitivitas tubuh terhadap insulin berkurang sehingga kadar gula darah tetap tinggi karena tidak bisa masuk ke dalam sel-sel.
Menurut DR dr Amarullah Siregar, kayu manis memiliki efek biomolekuler di pankreas. “Kayu manis mengandung senyawa kimia yang disebut PTP1B yang bekerja mengaktifkan senyawa di pankreas dengan cara mengaktifkan sel beta yang berfungsi menghasilkan insulin,” ujarnya. Selanjutnya, insulin akan membuka pintu sel darah merah sehingga gula bisa masuk dan diubah menjadi energi.
Senyawa PTP1B juga bekerja di sel alfa yang berfungsi membantu hati menghasilkan glikogen. “Sel ini mengubah gula menjadi glikogen atau cadangan energi,” kata Amarullah. Ia menambahkan, berbeda dengan obat-obat diabetes yang langsung menurunkan gula darah, obat herbal seperti kayu manis bekerja dengan cara mengoptimalisasi fungsi organ tubuh yang masih baik. “Kenaikan kadar gula darah hanyalah simptom dari gangguan insulin. Sumbernya adalah pankreas yang bermasalah. Karena itu, fungsi pankreas harus diperbaiki,” katanya.
Para Ilmuwan di Amerika mengklaim bahwa satu sendok teh kayu manis sehari bisa membantu mencegah diabetes. Peneliti dari US Agricultural Research Services’ nutrition laboratories di Beltsville, Md., menemukan kalau ekstrak kayu manis bisa meremajakan kemampuan tubuh agar lebih responsif terhadap insulin. Faktanya, hasil percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa pengolahan glukosa meningkat hingga 20 kali lipat. Efek ini disebabkan oleh kandungan methylhydroxy chalcone polymer yang terdapat di dalam kayu manis. Hasil percobaan pada tikus menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa darah yang tinggi menurun dramatis setelah pemberian turunan kayu manis tersebut.
Studi lain dari Pakistan juga menunjukkan penurunan kadar gula darah puasa, trigliserida, kolesterol jahat LDL dan kolesterol total setelah penggunaan kayu manis selama 40 hari. Penurunan itu terus terjadi hingga 20 hari berikutnya. Studi ini menunjukkan bahwa mereka yang menerima kayu manis paling tidak 1 gram sehari bisa merasakan manfaat ini.
Kayu manis banyak tumbuh di Indonesia, seperti di Sumatera. Namun, penggunaan kayu manis sebagai obat justru sudah lebih dulu dipatenkan di Amerika Serikat dengan merk dagang Cinulin. 

sumber : majalahkesehatan.com

Jumat, 16 Desember 2011

Suplemen Glukosamin: Manfaatnya masih dipertanyakan

Apakah glukosamin?

Glukosamin adalah salah satu dari kelompok biokimia yang dikenal sebagai gula amino. Senyawa dengan rumus kimia C6H13NO5 ini diproduksi secara alami oleh tubuh untuk membentuk glikosaminoglikan, protein pembentuk tulang rawan. Glukosamin juga bermanfaat menjaga metabolisme tulang rawan dan membantu memperbaiki tulang rawan yang rusak atau terkikis. Glukosamin tersedia dalam beberapa bentuk: glukosamin sulfat (GS) yang distabilkan oleh natrium klorida atau kalium klorida, glukosamin hidroklorida (GH) dan N-asetil glukosamin (NAG).
Selain diproduksi tubuh, glukosamin hadir dalam jumlah sedikit pada makanan seperti udang, lobster, dan kepiting. Glukosamin sintetis tersedia dalam bentuk pil, kapsul atau suntik, yang mungkin dikombinasi dengan suplemen lain seperti kondroitin. Kondroitin juga ditemukan dalam tulang rawan dan dilaporkan berfungsi mempertahankan viskositas sendi, merangsang mekanisme perbaikan tulang rawan, dan menghambat enzim yang memecah tulang rawan.

Efektivitas suplemen glukosamin

Suplemen glukosamin dipercaya sebagian kalangan dapat mengobati osteoartritis (OA), bentuk artritis paling umum yang dapat mempengaruhi tangan, pinggul, bahu dan lutut. Popularitas glukosamin mulai meningkat sejak diperkenalkan ke masyarakat luas melalui buku laris “The Cure Arthritis” (1996) oleh Dr Jason Theodosakis, seorang ahli bedah ortopedi di North Carolina. Buku itu menjabarkan program yang mencakup penggunaan suplemen untuk melawan artritis. Dr Theodosakis menggunakan glukosamin untuk mengurangi jumlah pasien yang membutuhkan penggantian sendi, selain anjuran berolahraga dan perbaikan gizi umum.
Sekitar lima tahun setelah “The Cure Arthritis”, jurnal kedokteran bergengsi The Lancet menerbitkan sebuah artikel pada tahun 2001, yang dianggap sebagai bukti medis pertama yang dapat diterima bahwa glukosamin mungkin dapat mengobati kondisi sendi seperti arthritis. Namun, segera setelah itu British Medical Journal (BMJ) menerbitkan sebuah artikel pada Juni 2001 yang berjudul “Glukosamin untuk osteoartritis: keajaiban, hiperia, atau kebingungan? ” dengan subjudul, “Ia mungkin aman tapi tidak ada bukti keefektifannya”.
Menurut sebuah studi tahun 2004 yang melibatkan 137 pasien di Kanada, tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara persentase peserta dalam kelompok plasebo dengan kelompok glukosamin. Pada Pertemuan Tahunan 2005 American College of Rheumatology, hasil dua uji coba glukosamin disajikan: sebuah percobaan di Amerika yang dirancang untuk menentukan keamanan dan kemanjuran glukosamin dan kondroitin, yang diambil secara terpisah atau bersama-sama, dan sebuah percobaan lainnya dari Eropa. Hasilnya menunjukkan bahwa glukosamin mungkin bermanfaat. Kombinasi glukosamin dan kondroitin lebih baik daripada plasebo, tetapi manfaatnya tampaknya tergantung pada keparahan nyeri. Pada pasien dengan nyeri osteoartritis lutut ringan, kombinasi glukosamin-kondroitin tidak lebih efektif signifikan daripada plasebo.

Efek samping

Konsumsi berlebihan glukosamin diduga dapat berkontribusi pada diabetes. Penelitian hewan telah meningkatkan kemungkinan bahwa glukosamin dapat berkontribusi terhadap resistensi insulin. Efek ini secara teoritis mungkin timbul dari kemampuan glukosamin untuk mengganggu enzim yang diperlukan untuk mengatur kadar gula darah. Namun, bukti yang tersedia tidak menunjukkan bahwa konsumsi suplemen glukosamin pada manusia akan memicu atau memperburuk resistensi insulin atau gula darah tinggi. Dua percobaan terkontrol besar selama 3 tahun menemukan bahwa orang yang memakai GS memiliki kadar glukosa darah sedikit lebih rendah atau tidak mengalami perubahan kadar gula darah, dibandingkan dengan orang yang memakai placebo. Temuan ini masih dibahas dan diperdebatkan. Penelitian lebih lanjut sedang dilakukan, terutama pada pengguna yang memiliki kelebihan berat badan karena mereka mungkin sangat sensitif terhadap efek glukosamin (jika ada) pada resistensi insulin.

Kesimpulan

Glukosamin mungkin bermanfaat untuk osteoartritis, namun bukti-bukti ilmiah lebih lanjut masih diperlukan untuk menjadikannya terapi pilihan. Sebelum hal itu terjadi, selalu berkonsultasi dengan dokter Anda jika Anda ingin menggunakannya sebagai suplemen.

Minggu, 11 Desember 2011

Nyamuk transgenik Penanggulangan DBD

Demam berdarah dengue (DBD) adalah wabah musiman yang secara berkala menebar ancaman di seluruh wilayah tropis di dunia, terutama di daerah perkotaan. Sekitar 50-100 juta kasus DBD dilaporkan setiap tahunnya di seluruh dunia. Di Indonesia pada 2010 lalu, DBD memakan korban lebih dari 1.300 nyawa, selain menimbulkan biaya perawatan kesehatan yang sangat besar. Hingga saat ini, tidak ada vaksin atau pengobatan khusus untuk DBD. Perawatan medis terutama dilakukan dengan mengelola demam dan memastikan kecukupan cairan tubuh, untuk mencegah komplikasi mematikan. Satu-satunya cara untuk mencegah penyakit ini adalah dengan mengontrol perkembangan nyamuk pembawa virusnya, yaitu Aedes aegypti, melalui pembersihan lingkungan dan penerapan insektisida (fogging, bubuk larvisida).
Sebuah studi baru yang dilaporkan BBC dan diterbitkan dalam jurnal Nature Biotechnology edisi 30 Oktober ini memberikan kabar gembira dalam memerangi nyamuk Aedes aegypti. Dalam studi ini, sekelompok peneliti yang terdiri dari para ilmuwan di bawah bendera Oxitec, lembaga penelitian yang didirikan Universitas Oxford, melepaskan ribuan nyamuk jantan yang telah dimodifikasi secara genetik di wilayah Kepulauan Cayman, di mana Aedes aegypti banyak dijumpai dan menimbulkan wabah DBD.
Nyamuk-nyamuk jantan itu diharapkan akan mencari dan mengawini betina Aedes aegypti di alam liar, bersaing dengan para pejantan alami. Ketika nyamuk jantan transgenik kawin dengan betina liar, keturunannya akan melalui tahap larva (jentik), tetapi mati sebagai kepompong sebelum mencapai dewasa. Dengan berulang-ulang melepaskan pejantan transgenik, maka populasi nyamuk pembawa virus ini akan berkurang hingga di bawah tingkat minimum yang diperlukan untuk mendukung penyebaran DBD. Metode ini dianggap sebagai alternatif insektisida yang lebih aman karena nyamuk jantan tidak menggigit atau menyebarkan penyakit, dan hanya kawin dengan betina dari spesies yang sama.
Sejumlah sampel larva nyamuk yang dikumpulkan dari daerah studi seluas 10 hektar itu pada empat minggu berikutnya menunjukkan bahwa mereka membawa gen transgenik, yang  berarti bahwa para pejantan transgenik berhasil bertahan dan menemukan pasangan. Dengan demikian, para peneliti menyimpulkan teknologi baru ini layak untuk menekan populasi A. aegypti.
Tahap kedua studi ini diharapkan dapat melepaskan jutaan nyamuk jantan transgenik untuk mengurangi populasi di daerah sasaran hingga 80%. “Pendekatan ini dapat digunakan di banyak negara untuk membantu mengendalikan nyamuk Aedes aegypti dan karenanya mencegah demam berdarah,” kata Dr Luke Alphey, kepala peneliti.
Sejumlah kelompok lingkungan telah menyatakan keprihatinan terhadap pendekatan rekayasa genetika ini. Misalnya, Kelompok ETC di Ottawa, Kanada, dan EcoNexus Oxford, Inggris, yang menyatakan bahwa pelepasan nyamuk transgenik di alam liar dapat menciptakan sebuah “ceruk kosong” yang dapat diisi oleh nyamuk lain yang serupa, jika tidak lebih berbahaya. Kekhawatiran lainnya adalah kemungkinan konsekuensi yang belum dieksplorasi terhadap organisme lain di rantai atas makanan, misalnya cicak.
“Studi ini adalah yang pertama kali menunjukkan bahwa populasi nyamuk bisa ditekan dengan cara ini,” kata Dr Raman Velayudhan, pakar DBD dari WHO. Menyadari bahwa rekayasa genetika merupakan teknologi yang memiliki potensi risiko dan manfaat, WHO sedang menyelesaikan panduan tentang bagaimana serangga transgenik harus dilepaskan di negara-negara berkembang, yang diharapkan dapat dirilis pada akhir tahun ini.

sumber : www.majalahkesehatan.com