Pages

Minggu, 11 Desember 2011

Nyamuk transgenik Penanggulangan DBD

Demam berdarah dengue (DBD) adalah wabah musiman yang secara berkala menebar ancaman di seluruh wilayah tropis di dunia, terutama di daerah perkotaan. Sekitar 50-100 juta kasus DBD dilaporkan setiap tahunnya di seluruh dunia. Di Indonesia pada 2010 lalu, DBD memakan korban lebih dari 1.300 nyawa, selain menimbulkan biaya perawatan kesehatan yang sangat besar. Hingga saat ini, tidak ada vaksin atau pengobatan khusus untuk DBD. Perawatan medis terutama dilakukan dengan mengelola demam dan memastikan kecukupan cairan tubuh, untuk mencegah komplikasi mematikan. Satu-satunya cara untuk mencegah penyakit ini adalah dengan mengontrol perkembangan nyamuk pembawa virusnya, yaitu Aedes aegypti, melalui pembersihan lingkungan dan penerapan insektisida (fogging, bubuk larvisida).
Sebuah studi baru yang dilaporkan BBC dan diterbitkan dalam jurnal Nature Biotechnology edisi 30 Oktober ini memberikan kabar gembira dalam memerangi nyamuk Aedes aegypti. Dalam studi ini, sekelompok peneliti yang terdiri dari para ilmuwan di bawah bendera Oxitec, lembaga penelitian yang didirikan Universitas Oxford, melepaskan ribuan nyamuk jantan yang telah dimodifikasi secara genetik di wilayah Kepulauan Cayman, di mana Aedes aegypti banyak dijumpai dan menimbulkan wabah DBD.
Nyamuk-nyamuk jantan itu diharapkan akan mencari dan mengawini betina Aedes aegypti di alam liar, bersaing dengan para pejantan alami. Ketika nyamuk jantan transgenik kawin dengan betina liar, keturunannya akan melalui tahap larva (jentik), tetapi mati sebagai kepompong sebelum mencapai dewasa. Dengan berulang-ulang melepaskan pejantan transgenik, maka populasi nyamuk pembawa virus ini akan berkurang hingga di bawah tingkat minimum yang diperlukan untuk mendukung penyebaran DBD. Metode ini dianggap sebagai alternatif insektisida yang lebih aman karena nyamuk jantan tidak menggigit atau menyebarkan penyakit, dan hanya kawin dengan betina dari spesies yang sama.
Sejumlah sampel larva nyamuk yang dikumpulkan dari daerah studi seluas 10 hektar itu pada empat minggu berikutnya menunjukkan bahwa mereka membawa gen transgenik, yang  berarti bahwa para pejantan transgenik berhasil bertahan dan menemukan pasangan. Dengan demikian, para peneliti menyimpulkan teknologi baru ini layak untuk menekan populasi A. aegypti.
Tahap kedua studi ini diharapkan dapat melepaskan jutaan nyamuk jantan transgenik untuk mengurangi populasi di daerah sasaran hingga 80%. “Pendekatan ini dapat digunakan di banyak negara untuk membantu mengendalikan nyamuk Aedes aegypti dan karenanya mencegah demam berdarah,” kata Dr Luke Alphey, kepala peneliti.
Sejumlah kelompok lingkungan telah menyatakan keprihatinan terhadap pendekatan rekayasa genetika ini. Misalnya, Kelompok ETC di Ottawa, Kanada, dan EcoNexus Oxford, Inggris, yang menyatakan bahwa pelepasan nyamuk transgenik di alam liar dapat menciptakan sebuah “ceruk kosong” yang dapat diisi oleh nyamuk lain yang serupa, jika tidak lebih berbahaya. Kekhawatiran lainnya adalah kemungkinan konsekuensi yang belum dieksplorasi terhadap organisme lain di rantai atas makanan, misalnya cicak.
“Studi ini adalah yang pertama kali menunjukkan bahwa populasi nyamuk bisa ditekan dengan cara ini,” kata Dr Raman Velayudhan, pakar DBD dari WHO. Menyadari bahwa rekayasa genetika merupakan teknologi yang memiliki potensi risiko dan manfaat, WHO sedang menyelesaikan panduan tentang bagaimana serangga transgenik harus dilepaskan di negara-negara berkembang, yang diharapkan dapat dirilis pada akhir tahun ini.

sumber : www.majalahkesehatan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan.... di isi