Pages

Kamis, 21 Agustus 2014

MANFAAT KOMPOS



Pada dasarnya kompos dapat meningkatkan kesuburan kimia dan fiisik tanah yang selanjutnya akan meningkatkan produksi tanaman. Pada tanaman hortikultura (buahbuahan, tanaman hias, dan sayuran) atau tanaman yang sifatnya perishable ini hampir tidak mungkin ditanam tanpa kompos. Demikian juga di bidang perkebunan, penggunaan kompos terbukti dapat meningkatkan produksi tanaman. Di bidang kehutanan, tanaman akan tumbuh lebih baik dengan kompos. Sementara itu, pada perikanan, umur pemeliharaan ikan berkurang dan pada tambak, umur pemeliharaan 7 bulan menjadi 56 bulan. 
Kompos membuat rasa buahbuahan dan sayuran lebih enak, lebih harum dan lebih masif. Hal inilah yang mendorong perkembangan tanaman organik, selain lebih sehat dan aman karena tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia rasanya lebih baik, lebih getas, dan harum. Penggunaan kompos sebagai pupuk organik saja akan menghasilkan produktivitas yang terbatas. Penggunaan pupuk buatan saja (urea, SP, MOP, NPK) juga akan memberikan produktivitas yang terbatas. Namun, jika keduanya digunakan saling melengkapi, akan terjadi sinergi positif. Produktivitas jauh lebih tinggi dari pada penggunaan jenis pupuk tersebut secara masingmasing.  Selain itu, air lindi yang dianggap mencemarkan sumur di lingkungan TPA dapat dijadikan pupuk cair atau diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke saluran umum. Keuntungan lainnya dengan dihilangkannya TPA (tempat pembuangan akhir) dan diganti dengan TPK (tempat pengolahan kompos) alias pabrik kompos, lahan untuk sampah ini tidak berpindahpindah, cukup satu tempat untuk kegiatan yang berkesinambungan.  
Bagaimana Kompos Terjadi? Sampah organik secara alami akan mengalami peruraian oleh berbagai jenis mikroba, binatang yang hidup di tanah, enzim dan jamur. Proses peruraian ini memerlukan kondisi tertentu, yaitu suhu, udara dan kelembaban. Makin cocok kondisinya, makin cepat pembentukan kompos, dalam 4 – 6 minggu sudah jadi. Apabila sampah organik ditimbun saja, baru berbulanbulan kemudian menjadi kompos. Dalam proses pengomposan akan timbul panas krn aktivitas mikroba. Ini pertanda mikroba mengunyah bahan organik dan merubahnya menjadi kompos. Suhu optimal untk pengomposan dan harus dipertahankan adalah 4565C.Jika terlalu panas harus dibolakbalik, setidaktidaknya setiap 7 hari.

PENGERTIAN KOMPOS



Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia dengan hasil akhir berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Bahan yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N < 20. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terombak dalam waktu yang lama, sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu rendah akan terjadi kehilangan N karena menguap selama proses perombakan berlangsung. Kompos yang dihasilkan dengan fermentasi menggunakan teknologi mikrobia efektif dikenal dengan nama bokashi. Dengan cara ini proses pembuatan kompos dapat berlangsung lebih singkat dibandingkan cara konvensional.
Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan mikrobia agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Yang dimaksud mikrobia disini bakteri, fungi dan jasad renik lainnya. Bahan organik disini merupakan bahan untuk baku kompos ialah jerami, sampah kota, limbah pertanian, kotoran hewan/ ternak dan sebagainya. Cara pembuatan kompos bermacammacam tergantung: keadaan tempat pembuatan, buaday orang, mutu yang diinginkan, jumlah kompos yang dibutuhkan, macam bahan yang tersedia dan selera si pembuat. 
Perlu diperhatikan dalam proses pengomposan ialah kelembaban timbunan bahan kompos. Kegiatan dan kehidupan mikrobia sangat dipengaruhi oleh kelembaban yang cukup, tidak terlalu kering maupun basah atau tergenang. Aerasi timbunan. Aerasi berhubungan erat dengan kelengasan. Apabila terlalu anaerob mikrobia yang hidup hanya mikrobia anaerob saja, mikrobia aerob mati atau terhambat pertumbuhannya. Sedangkan bila terlalu aerob udara bebas masuk ke dalam timbunan bahan yang dikomposkan umumnya menyebabkan hilangnya nitrogen relatif banyak karena menguap berupa NH3. Temperatur harus dijaga tidak terlampau tinggi (maksimum 60 0C). Selama pengomposan selalu timbul panas sehingga bahan organik yang dikomposkan temparaturnya naik; bahkan sering temperatur mencapai 60 0C. Pada temperatur tersebut mikrobia mati atau sedikit sekali yang hidup. Untuk menurunkan temperatur umumnya dilakukan pembalikan timbunan bakal kompos. Proses pengomposan kebanyakan menghasilkan asamasam organik, sehingga menyebabkan pH turun. Pembalikan timbunan mempunyai dampak netralisasi kemasaman. 
Netralisasi kemasaman sering dilakukan dengan menambah bahan pengapuran misalnya kapur, dolomit atau abu. Pemberian abu tidak hanya menetralisasi tetapi juga menambah hara Ca, K dan Mg dalam kompos yang dibuat. Kadangkadang untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos, timbunan diberi pupuk yang mengandung hara terutama P. Perkembangan mikrobia yang cepat memerlukan hara lain termasuk P. Sebetulnya P disediakan untuk mikrobia sehingga perkembangannya dan kegiatannya menjadi lebih cepat. Pemberian hara ini juga meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan karena kadar P dalam kompos lebih tinggi dari biasa, karena residu P sukar tercuci dan tidak menguap.

PENGUMPULAN SAMPAH



 
Sampah akan menjadi beban bumi, artinya ada resiko-resiko yang akan ditimbulkannya (Hadi, 2000:40). Ketidakpedulian terhadap permasalahan pengelolaan sampah berakibat terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang tidak memberikan kenyamanan untuk hidup, sehingga akan menurunkan kualitas kesehatan masyarakat. Degradasi tersebutlebih terpicu oleh pola perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan, seperti membuang sampah di badan air (Alkadri et al., 1999:264) sehingga sampah akan menumpuk di saluran air yang ada dan menimbulkan berbagai masalah turunan lainnya.
Pengumpulan sampah adalah cara proses pengambilan sampah mulai dari tempat penampungan sampah sampai ke tempat pembuangan sementara. Pola
pengumpulan sampah pada dasarnya dikempokkan dalam 2 (dua) yaitu pola individual dan pola komunal (SNI 19-2454-2002) sebagai berikut :
a.       Pola Individual
Proses pengumpulan sampah dimulai dari sumber sampah kemudian diangkut ke tempat pembuangan sementara/ TPS sebelum dibuang ke TPA.
b.      Pola Komunal
Pengumpulan sampah dilakukan oleh penghasil sampah ke tempat penampungan sampah komunal yang telah disediakan / ke truk sampah yang menangani titik pengumpulan kemudian diangkut ke TPA tanpa proses pemindahan.
Pengolahan sampah garbage (organik) secara biologis dan berlangsung dalam suasana aerobic dan anaerobic. Dekomposisi sampah dengan bantuan bakteri, diperoleh kompos atau humus. Dekomposisi anaerobic berjalan sangat lambat dan menimbulkan bau, tetapi dekomposisi aerobic berjalan relative cepat dari dekomposisi anaerobic dan kurang menimbulkan bau.
Berdasarkan komposisi kimianya, maka sampah dibagi menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Penelitian mengenai sampah padat di Indonesia menunjukkan bahwa 80% merupakan sampah organik, dan diperkirakan 78% dari sampah tersebut dapat digunakan kembali. Menurut Murtadho dan Said (1987), sampah organik di bedakan menjadi sampah organik yang mudah membusuk (misal: sisa makanan, sampah sayuran dan kulit buah) dan s ampah organic yang tidak mudah membusuk (misal : plastik dan kertas). Kegiatan atau aktivitas pembuangan sampah merupakan kegiatan yang tanpa akhir. Oleh karena itu diperlukan system pengelolaan sampah yang baik. Sementara itu, penanganan sampah perkotaan mengalami kesulitan dalam hal pengumpulan sampah dan upaya mendapatkan tempat atau lahan yang benar-benar aman (Soeryani et al, 1997). Maka pengelolaan sampah dapat dilakukan secara preventive, yaitu memanfaatkan sampah salah satunya seperti usaha pengomposan (Damanhuri, 1988).

PERILAKU KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA



DEFINISI PERILAKU
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, minat, emosi, kehendak, berfikir, motivasi, persepsi, sikap, reaksi dan sebagainya (Azwar S.,2005).
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar, yang merupakan refleksi kejiwaan untuk memberikan respon terhadap situasi di luar dirinya.
Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok:
1.   Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance)
Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek:

a.   Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b.   Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
c.   Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
2.   Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Perilaku ini sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior) yang menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mecari pengobatan keluar negeri.
3.   Perilaku Kesehatan Lingkungan
Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya (Notoatmodjo, 2003). Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, yaitu :
a.   Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.
b.   Perilaku sakit (illness behavior).
Perilaku sakit ini mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan sebagainya.
c.   Perilaku peran sakit (the sick role behavior)
Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran, yang mencakup hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation).
Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat atau individu, yaitu :
a.   Faktor dasar (predisposing factor), mencakup pengetahuan, sikap, kebiasaan, kepercayaan, norma sosial dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu di dalam masyarakat yang terwujud dalam motivasi;
b.   Faktor pendukung (enabling factor), mencakup sumber daya atau potensi masyarakat, terwujud dalam tersedianya alat dan fasilitas serta peraturan;
c.   Faktor pendorong (reinforcing factor), mencakup sikap dan perilaku dari orang lain yang terwujud dalam dukungan sosial. (Green, 2000)







PERILAKU KESEHATAN & KESELAMATAN KERJA
Perilaku kesehatan manuasia atau individu dipengaruhi oleh faktor dasar yaitu faktor yang menjelaskan alasan atau motivasi seseorang untuk berperilaku, faktor pendukung adalah faktor yang merupakan pendukung untuk berperilaku dan faktor pendorong yaitu faktor lingkungan yang dominan dalam pembentukan perilaku. Tenaga kerja yang berperilaku sehat akan menghidari risiko terjadinya penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Maka dari itu K3 mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya K3 diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan.
Dalam pelaksanaan K3 sangat dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu manusia, bahan, dan metode yang digunakan, yang artinya ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam mencapai penerapan K3 yang efektif dan efisien. Sebagai bagian dari iImu Kesehatan Kerja, penerapan K3 dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu adanya organisasi kerja, administrasi K3, pendidikan dan pelatihan, penerapan prosedur dan peraturan di tempat kerja, dan pengendalian lingkungan kerja. Dalam Ilmu Kesehatan Kerja, faktor lingkungan kerja merupakan salah satu faktor terbesar dalam mempengaruhi kesehatan pekerja, namun demikian tidak bisa meninggalkan faktor lainnya yaitu perilaku. Perilaku seseorang dalam melaksanakan dan menerapkan K3 sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas keberhasilan K3.
Menurut ILO, kecelakaan kerja 88% karena perilaku yang tidak aman, 10% karena kondisi/lingkungan yang tidak aman dan 2% karena keadaan yang tidak dapat diprediksikan.
Menurut pandangan dan keyakinan tradisionil, kecelakaan kerja terjadi karena nasib, sedang naas, sial, kurang beruntung dan lain-lain, kecelakaan kerja tidak terjadi pada dirinya sehingga tidak perlu ada rencana untuk mencegahnya, dan tidak setiap tindakan beresiko (unsafe act) akan menyebabkan kecelakaan kerja. Akibat dari pandangan tersebut, mereka enggan dan malas berlatih untuk berperilaku selamat (safe behavior), enggan membiasakan diri berperilaku selamat dan akhirnya resiko kecelakaan menjadi meningkat.
Berbeda dengan pandangan dan keyakinan ilmu perilaku, bahwa kecelakaan kerja adalah peristiwa yang rasional dan dapat dijelaskan,  merupakan rangkaian peristiwa  yang tidak  berdiri  sendiri, sehingga langkah  atau  tindakan  harus  diambil  agar  kecelakaan kerja dapat  dicegah dan peluangnya  akan  lebih  besar  jika  tindakan  korektif (latihan dan membiasakan diri)  tidak  dilakukan.
Ada 3 faktor (safety  triad) yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja, yaitu: faktor  kepribadian  (person  factor), faktor  lingkungan  atau  kondisi  kerja  (environment  factor), dan faktor  perilaku  atau  tindakan  (behavior  factor).
Faktor kepribadian (personality) :
1.      Apakah  orang  tersebut  mengetahui  bahaya  dari  pekerjaan atau tindakannya?
2.      Apakah  ia  mengetahui  apa  yang  seharusnya  dilakukan?
3.      Mampukah  ia  melakukannya?
4.      Bagaimanakah perasaannya ketika melakukannya? (sulit, mudah, dengan  terpaksa dll)
Faktor ini tergantung kepada: tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman, lingkungan sosial hidupnya, dan lain-lain. Hal ini sulit diungkap secara keseluruhan karena terletak di dalam diri seseorang.
Faktor lingkungan atau kondisi kerja :
Contoh  dari  faktor  ini  adalah  adanya  tumpahan  minyak,  air,  atau  cairan  kimia  di  lantai  kerja,  APD  ,  efektifitas  dari  alat  pelindung  mesin  dan  sebagainya. Kondisi  lingkungan  atau  kondisi kerja merupakan faktor  yang  mudah  diketahui,  oleh  karena  itu orang lebih sering dan senang untuk  menyalahkan  kondisi  yang  tidak  aman.
Faktor perilaku (tindakan) :
Faktor  ini  menekankan  kepada  apa  yang  sesungguhnya  telah  dilakukan dan bukan  kepada  apa  yang  diinginkan  untuk  dilakukan.
Contoh: memakai helm, menerobos lampu merah, dll
Dari ketiga faktor di atas, ternyata penyebab kecelakaan kerja didominasi oleh faktor perilaku/tindakan (behavior factor), misalnya : dari data I.L.O (1989)  mengungkapkan  dari  75.000  kasus  kecelakaan  88%  disebabkan  tindakan tidak  aman,  10%  oleh  kondisi  tidak  aman  dan  2% kejadian yang tak dapat diprediksi, Strasser  (1981:83) membuktikan  bahwa ” unsafe  behavior  is  contributing  cause  of  85  %  of  all  accident”, penelitian  Hidayat  (1999:3) di jalan tol dari tahun 1992 sampai tahun 1996  menyimpulkan  bahwa  dari  2101  kasus  kecelakaan  yang  terjadi  di  jalan tol 64,8 % adalah  faktor  pengemudi.
Dari beberapa hal yang diungkapkan diatas, maka perilaku K3 harus terus dilatih agar menjadi suatu kebiasaan (safe behavior). Proses latihan perilaku K3 dapat dilakukan melalui tahapan:
1.      Observation (pengamatan)
2.      Feedback (umpan balik)
3.      Reinforcement (penguatan)
4.      Behavior change (perubahan perilaku)
Observation (Pengamatan)
Observation, menga-mati dan memonitor perilaku pekerja dan  mengidentifikasikan  (mengenali)  manakah  perilaku  selamat  dan  manakah  perilaku  tidak  selamat.
Feedback (Umpan Balik)
Feedback,  memberikan  umpan  balik.  Katakan  kepada  pekerja  anda  apakah  ia  melakukan  tindakan  selamat  atau  tidak  selamat. Umpan  balik yang tepat merupakan pemicu kepada  pekerja  untuk  meneruskan   atau  merubah  perilakunya
Reinforcement (penguatan)
Reinforcement  (penguatan),  pemberian  suatu  penguatan yang  positif  sesudah  pekerja  anda  melakukan  tindakan  selamat  dapat  mendorong  pekerja  tersebut  melakukan  lagi  tindakan tersebut.
Contohnya :    "Saya  lihat  anda  memakai  kacamata  pelindung  dengan  baik  hari  ini.  Itu  merupakan  perilaku  yang  selamat.  Saya  senang  melihat  hal  itu".

Behavior Change (Perubahan Perilaku)
Behavior  change  (perubahan  perilaku),  perubahan  ini  terjadi  hanya  bila  selalu  dilakukan  penguatan  ke  arah  "safe  behavior",  ini  merupakan  tujuan  dari  ketiga  proses  sebelumnya.
PENDEKATAN PERSUASIF DALAM PERILAKU K3
Melihat prioritas utama dalam menangani kecelakaan kerja adalah manusia, maka usaha yang paling tepat dilakukan adalah bagaimana membuat manusia berdisiplin dan sadar akan bahaya kecelakaan.
Untuk  mengetahui perilaku manusia dalam bekerja maka perlu dilakukan analisa psikologi. Analisa yang dilakukan dengan melihat pekerja dalam bekerja dari segi pikiran, perasaan dan tidakan yang merupakan pembentuk perilaku.

Pembangkitan sisi pikiran pekerja
Faktor pikiran berisi tentang keyakinan seseoarang mengenai apa yang berlaku. Sekali kepercayaan telah terbentuk, maka keyakinan tersebut akan menjadi dasar pertimbangan seseorang mengenai perbuatan yang akan dilakukan. Keyakinan sendiri terbentuk dari informasi yang didapat seseorang. Bisa saja pekerja berperilaku tidak aman karena tidak mengerti bagaimana cara berperilaku aman. Oleh karena itu dalam komponen ini direncanakan program untuk meningkatkan pengetahuan pekerja tentang keselamatan kerja, yaitu dengan pelatihan singkat, simulasi, dan workshop sesuai analisa kebutuhan pelatihan.

Pembangkitan sisi perasaan pekerja
Usaha selanjutnya dalam pendekatan persuasi dalam peningkatan keselamatan kerja adalah berusaha mengubah reaksi emosional pekerja. Faktor yang paling berperan disini adalah pembangkitan sisi perasaan dari pekerja untuk berperilaku disiplin dalam bekerja.
Pada dasarnya pekerja tahu cara berperilaku yang aman, namun karena berbagai hal seperti menghemat waktu, menghemat usaha, merasa lebih nyaman, dan menarik perhatian membuat pekerja menomorduakan keselamatan. Untuk mengubah pemahaman pekerja ini diperlukan program-program antara lain :
a.       Kampanye dan Sosialisasi Keselamatan Kerja
b.      Publikasi Data Kecelakaan Kerja



Pembangkitan Sisi Tindakan
Yaitu perilaku atau kebiasaan yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek lain yang ada disekitar lingkungannya. Ketika lingkungan sekitarnya tidak nyaman atau mendorong kearah negatif (negatif reonforcement) maka kecenderungan perilaku manusia tersebut juga ke arah negatif. Jadi untuk mempengaruhi perilaku seseorang juga harus merubah lingkungan fisiknya.
Perilaku tidak aman juga sering dipicu oleh adanya pengawas atau manajemen yang tidak peduli dengan keselamatan kerja. Pihak manajemen ini secara tidak langsung memotivasi para pekerja untuk mengambil jalan pintas, mengabaikan bahwa perilakunya berbahaya demi kepentingan tercapainya target produksi.
Perilaku tidak aman juga bisa dipicu oleh tidak tersedianya Alat Pelindung Diri di lokasi kerja. Karena tuntutan deadline pekerjaan, sehingga tanpa alat pelindung diri pekerja terpaksa melakukan pekerjaan yang berpotensi bahaya. Jika hal ini dibiarkan maka akan menjadi kebiasaan dalam bekerja.
Memberikan Reward terhadap pekerja yang selalu berperilaku aman dan sebaliknya Punishment di berikan kepada pekerja yang berperilaku tidak aman.